Ramadhan, bulan berlimpah pengampunan bagi hamba bertaubat
Ramadhan, bulan berlimpah pengampunan bagi hamba bertaubat
Rasulullah shallallahu alaihi wassallam bersabda:
“Demi Allah. Sungguh aku selalu beristighfar dan bertaubat kepada Allah dalam sehari lebih dari 70 kali.” (HR. Bukhari).
Salah seorang salaf rahimahullah berkata:‘Barang siapa yang tidak bertaubat setiap pagi dan sore, maka dia termasuk orang-orang yang zalim’.
Allâh azza wa jalla telah berfirman:“Dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang zalim.” (Hujurât: 11).
Yahya bin Muaz rahimahullah berkata:‘Satu ketergelinciran setelah pertaubatan lebih kotor daripada tujuh puluh ketergelinciran sebelumnya.’
Sufyân bin Uyaynah rahimahullah ditanya:‘Apakah tanda pertaubatan yang murni? Dia menjawab: ‘Seseorang merendahkan jiwanya, mengupayakan kedekatan yang sebesar-besarnya kepada Allah dengan amalan ketaatan, dan menjadikan jiwanya menyadari bahwa ia tidak berbuat banyak dalam hal ketaatan itu.’
Taubat melindungi
Fudayl bin Iyâdh rahimahullah berkata kepada para Mujahidin ketika mereka hendak berangkat Jihad.
‘Taubat diwajibkan atasmu karena itu melindungimu dari apa yang tidak dapat dilakukan oleh pedang.”
Amirul Mukminin Umar bin Khattâb radhiyallahu ‘anhu berkata:
‘Duduklah bersama orang-orang yang bertaubat kepada Allah karena hati mereka adalah yang paling lembut.’
Maka ketahuilah wahai saudaraku, banyak-banyaklah memohon ampunan untukmu dan dunia ini, karena hal itu dapat memadamkan murka Allah; dan jangan sekali-kali kamu berpikir bahwa dosa-dosamu akan terabaikan padahal kamu belum melakukan apa pun yang menurut syariat dapat menghapuskan dosa.
Mungkin Anda belum memenuhi semua syarat taubat dan mengetahui bahwa seorang mukmin tidak akan tenang pikirannya sampai dia masuk surga. Cobalah memahami hal ini, dan segala puji hanya bagi Allah, Rabb semesta alam.
(dari Simply Salafiyyah)
Imam An-Nawawi tentang taubat, memohon ampunan kepada Allah
Imam An-Nawawi tentang taubat, memohon ampunan kepada Allah
oleh Abu Amina Elias
Bismillahirrahmaanirraahiim
Imam An-Nawawi menuliskan dalam bukunya Riyadush Shalihin: “Para ulama telah mengatakan perlunya bertaubat dari setiap dosa. Jika dosanya terkait antara hamba dan Allah azza wa jalla, yang tak terkait dengan hak manusia, maka ada tiga syarat taubat: Pertama, berhenti melakukannya. Kedua, menyesali telah melakukannya. Ketiga, bertekad untuk tidak mengulanginya. Jika salah satu dari ketiga hal ini hilang, maka pertaubatannya tidak jelas.
Jika dosanya itu menyangkut manusia, maka syaratnya ada empat: ketiga syarat diatas dan terpenuhinya hak-hak dari mereka yang dizalimi. Jika menyangkut harta benda dan sebagainya, maka dikembalikan kepadanya. (Riyadush Shalihin 1/14)
Allah azza wa jalla berfirman:وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ“
Bertaubatlah kepada Allah, wahai sekalian orang beriman, agar kamu beruntung.” (QS An Nur: 31)
Dan Allah berfirman: وَأَنِ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ
“Carilah pengampunan dari Tuhanmu dan kembalilah kepada-Nya dalam pertaubatan.” (QS: Hud :3)
Dan Allah berfirman:يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَّصُوحًا
Wahai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan sebenar-benar taubat. (QS At Tahrim: 8)
Abu Hurairah meriwayatkan:
Rasulullah shallallahu alaihi wassallam bersabda: Demi Allah, aku memohon ampun kepada Allah dan aku bertaubat kepadanya lebih dari tujuh puluh kali dalam sehari. (hadits Ṣaḥīḥ al-Bukhārī 5948, derajat: Sahih)
Ibnu Umar meriwayatkan: Rasulullah shallallahu alaihi wassallam bersabda:
“Wahai manusia, kembalilah kepada Allah dengan bertaubat. Sesungguhnya aku bertaubat kepadanya seratus kali dalam sehari. (hadits Ṣaḥīḥ Muslim 2702, Sahih)
Anas bin Malik meriwayatkan:
Rasulullah shallallahu alaihi wassallam bersabda: “Allah lebih gembira dengan taubat hamba-Nya daripada salah seorang di antara kalian yang kehilangan untanya dalam perjalanan di padang gurun yang sepi sambil membawa makanan dan minumannya.” (hadits Ṣaḥīḥ al-Bukhārī 5950, Muttafaqun Alayhi)
Dalam riwayat lain, Nabi shallallahu alaihi wassallam bersabda:
“Karena kehilangan harapan, dia berbaring di tempat teduh dan putus asa atas untanya, tetapi tiba-tiba dia menemukan unta itu berdiri di dekatnya. Dia memegang kendalinya dan dengan gembira dia menyatakan: Ya Allah, engkau adalah hambaku dan aku adalah Tuhanmu. Dia membuat kesalahan karena kegembiraannya yang luar biasa.” (hadits Ṣaḥīḥ Muslim 2747, sahih)
Abu Musa meriwayatkan: Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla mengulurkan tangan-Nya di malam hari untuk menerima taubat orang yang berbuat dosa di siang hari, dan Dia mengulurkan tangan-Nya di siang hari untuk menerima taubat orang yang berbuat dosa di malam hari, hingga matahari terbit dari barat. (hadits Ṣaḥīḥ Muslim 2759, sahih)
Abu Hurairah meriwayatkan: Rasulullah shallallahu alaihi wassallam bersabda:
“Barangsiapa bertaubat sebelum matahari terbit dari barat, maka Allah akan mengampuninya.” (hadits Ṣaḥīḥ Muslim 2703, sahih)
Ibnu Umar meriwayatkan: Rasulullah shallallahu alaihi wassallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah menerima taubat hamba-hamba-Nya, selama mereka tidak berada di ranjang kematiannya.” (hadits Sunan al-Tirmidzi 3537, hasan)
Abu Sa’id al-Khudri meriwayatkan Rasulullah shallallahu alaihi wassallam bersabda:
“Dahulu pada masa sebelum kalian ada seseorang yang pernah membunuh 99 jiwa. Lalu ia bertanya tentang keberadaan orang-orang yang paling alim di muka bumi. Namun ia ditunjuki pada seorang rahib. Lantas ia pun mendatanginya dan berkata, ”Jika seseorang telah membunuh 99 jiwa, apakah taubatnya diterima?” Rahib pun menjawabnya, ”Orang seperti itu tidak diterima taubatnya.” Lalu orang tersebut membunuh rahib itu dan genaplah 100 jiwa yang telah ia renggut nyawanya.
Kemudian ia kembali lagi bertanya tentang keberadaan orang yang paling alim di muka bumi. Ia pun ditunjuki kepada seorang ‘alim. Lantas ia bertanya pada ‘alim tersebut, ”Jika seseorang telah membunuh 100 jiwa, apakah taubatnya masih diterima?” Orang alim itu pun menjawab, ”Ya masih diterima. Dan siapakah yang akan menghalangi antara dirinya dengan taubat? Beranjaklah dari tempat ini dan ke tempat yang jauh di sana karena di sana terdapat sekelompok manusia yang menyembah Allah Ta’ala, maka sembahlah Allah bersama mereka.
Dan janganlah kamu kembali ke tempatmu (yang dulu) karena tempat tersebut adalah tempat yang amat jelek.”
Laki-laki ini pun pergi (menuju tempat yang ditunjukkan oleh orang alim tersebut). Ketika sampai di tengah perjalanan, maut pun menjemputnya.
Akhirnya, terjadilah perselisihan antara malaikat rahmat dan malaikat adzab. Malaikat rahmat berkata, ”Orang ini datang dalam keadaan bertaubat dengan menghadapkan hatinya kepada Allah”. Namun malaikat adzab berkata, ”Orang ini belum pernah melakukan kebaikan sedikit pun”.
Lalu datanglah malaikat lain dalam bentuk manusia, mereka pun sepakat untuk menjadikan malaikat ini sebagai pemutus perselisihan mereka. Malaikat ini berkata, ”Ukurlah jarak kedua tempat tersebut (jarak antara tempat jelek yang dia tinggalkan dengan tempat yang baik yang ia tuju -pen). Jika jaraknya dekat, maka ia yang berhak atas orang ini.”
Lalu mereka pun mengukur jarak kedua tempat tersebut dan mereka dapatkan bahwa orang ini lebih dekat dengan tempat yang ia tuju. Akhirnya,ruhnya pun dicabut oleh malaikat rahmat.” (hadits Ṣaḥīḥ al-Bukhārī 3283, muttafaqun alayhi)
Dari Imran bin Husain meriwayatkan:
Seorang wanita dari suku Juhayna mendatangi Nabi Muhammad SAW dalam keadaan hamil karena perzinahan. Dia berkata, “Wahai Nabi Allah, aku telah melakukan pelanggaran yang patut mendapat hukuman hukum, maka bebankanlah itu kepadaku.” Nabi memanggil walinya dan dia berkata:
“Perlakukan dia dengan baik dan bawa dia setelah dia melahirkan.” Wali melakukannya dan Nabi memerintahkan hukuman itu dilaksanakan. Pakaiannya diamankan di sekelilingnya dan dia dilempari batu. Kemudian Nabi memimpin salat jenazahnya. Umar berkata, “Ya Rasulullah, dia berzina dan kamu mendoakannya?” Nabi berkata: “Dia bertaubat dengan cara yang mencukupi tujuh puluh penduduk Madinah, jika dibagi di antara mereka. Adakah taubat yang lebih besar daripada mengorbankan diri demi Allah ta’ala? Hadits Ṣaḥīḥ Muslim 1696, sahih).
Anas bin Malik meriwayatkan: Rasulullah shallallahu alaihi wassallam bersabda:
“Seandainya anak Adam mempunyai sebuah lembah yang penuh dengan emas, niscaya dia ingin mempunyai dua lembah. Tidak ada yang memenuhi mulutnya kecuali debu kubur, namun Allah akan mengasihi siapa pun yang bertaubat kepadanya.” (hadits Ṣaḥīḥ al-Bukhārī 6075, Muttafaqun Alayhi) Abu Hurairah meriwayatkan: Rasulullah shallallahu alaihi wassallam bersabda: “Allah menertawakan dua orang laki-laki, yang satu membunuh yang lain, namun keduanya masuk surga. Orang ini berperang di jalan Allah lalu terbunuh, lalu pembunuhnya bertaubat dan ikut syahid.” (hadits Ṣaḥīḥ al-Bukhārī 2671, Muttafaqun Alayhi).
Disadur dari Abu Amina Elias
Harta sejati, taubatnya sang pencuri
Suatu malam pencuri berhasil masuk rumah ulama Maalik bin Dinar, setelah ia dengan mudahnya memanjat tiang dinding rumah dinding syaikh itu.
Setelah menerobos rumah ulama, si pencuri malah kecewa karena tak ada benda yang bernilai untuk digondolnya. Pemilik rumah ada di dalam saat itu, beliau sibuk melaksanakan sholat [malam].
Menyadari dia tidak sendirian di rumah, Maalik segera menyelesaikan sholat sunnahnya dan berpaling melihat si pencuri. Ulama Maalik tak ada menampakkan tanda-tanda terkejut ataupun takut.
Dengan tenang dia mengucapkan salam kepada pencuri dan mengatakan, “saudaraku, semoga Allah mengampunimu. Anda memasuki rumahku dan menemukan tak ada yang berharga untuk diambil. Namun aku tak ingin Anda meninggalkan rumahku tanpa mendapatkan hasil apapun.”
Ulama itu berdiri menuju bagian rumah lainnya dan membawa seember air. Dia menatapi mata pencuri dan berkata, “Berwudulah dan sholatlah dua rakat, agar jika Anda melakukannya, maka Anda akan meninggalkan rumahku dengan kekayaan lebih banyak daripada sebelumnya ketika Anda memasukinya.”
Didorong dengan kesantunan dan kesopanan Maalik, pencuri itu berkata, “Ya, ini memang tawaran yang baik.”
Setelah berwudhu dan melakukan sholat dua rakaat, pencuri pun berkata, “Wahai Maalik, sudikah Anda jika saya tinggal agak sejenak, karena saya ingin melakukan sholat dua rakaat lagi?”
Maalik menjawab, “Tinggallah untuk berapapun jumlah rakaat sholat yang Allah tetapkan untuk Anda lakukan kini.”
Pencuri itu akhirnya sepanjang malam berada di rumah Maalik. Dia terus mengerjakan sholat hingga subuh datang. Kemudian Maalik pun berkata kepada si pencuri: “Pergilah Anda sekarang dan hati-hatilah.”
Bukannya meninggalkan rumah ulama itu, pencuri malah berkata, “Apakah Anda keberatan jika saya tinggal disini bersama Anda hari ini, karena saya telah berniat puasa hari ini?
“Tinggallah selama Anda inginkan,” ujar Maalik.
Pencuri itu akhirnya menginap beberapa hari lagi, sholat malam di sepertiga malam terakhir dan berpuasa di siang harinya.
Ketika dia akhirnya memutuskan untuk meninggalkan kediaman ulama Maalik, dia berkata, “Yaa Maalik, saya telah membuat tekad kuat untuk bertaubat dari dosa-dosaku dan dari jalan hidupku sebelumnya.”
Maalik pun menjawab, “Memang, [urusan] itu ada di tangan Allah.”
Pria itu memperbaki jalan hidupnya dan mulai menerapkan kehidupan yang lurus dan ketaatan kepada Allah.
Setelah itu, dia berjumpa dengan pencuri lainnya yang dia kenali. [Temannya] berkata padanya, “Apakah kamu sudah menemukan hartamu?
Dia menjawab, “Saudaraku, apa yang kutemukan adalah Maalik bin Dinaar. Aku akan mencuri di rumah beliau, namun ternyata, dia lah yang berhasil mencuri hatiku.
Saya benar-benar bertaubat kepada Allah, dan saya akan tetap di pintu [Rahmat dan Ampunan-Nya] hingga saya meraih apa yang diraih Hamba-hambaNya yang taat dan dicintaiNya.” Masya Allah.
[al-Mawaa’idh wal-Majaalis: 85]
Taubatnya Al-Fudhail sang pembegal
Ali bin Khasyram berkata, “Seorang tetangga al-Fudhail bin Iyadh rahimahullah menceritakan, dulu al-Fudhail bin Iyadh membegal (merampok) sendirian. Suatu malam ia keluar untuk membegal, ternyata ia mendapati suatu kafilah (rombongan dagang) yang kemalaman. Seorang di antara mereka berkata kepada yang lainnya:’Mari kita kembali ke kampung itu, karena di hadapan kita ada seorang pembegal yang bernama al-Fudhail.’ Ketika al-Fudhail mendengarnya, ia menjadi gemetar lalu berkata:’Wahai sekalian manusia, aku al-Fudhail. Silahkan kalian lanjutkan perjalanan. Demi Allah, aku akan berusaha untuk tidak bermaksiat kepada Allah selamanya.’ Lalu ia kembali (bertaubat) dari jalan yang pernah ia tempuh (membegal).”
Diriwayatkan dari jalur lainnya bahwa ia (al-Fudhail) menjamu mereka (mengajak mereka bertamu ke rumahnya) pada malam itu, dan berkata, “Kalian aman dari al-Fudhail.” Lalu ia (al-Fudhail) keluar untuk mencari rumput untuk tunggangan mereka. Lalu ia kembali mendengarkan seseorang yang sedang membaca,
أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا أَن تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللهِ وَمَانَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلاَيَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِن قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ اْلأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِّنْهُمْ فَاسِقُونَ
”Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah.” (Q.S. Al-Hadiid: 16)
Ia menjawab, ”Benar, demi Allah, sudah tiba waktunya.” Ia pun mulai menangis dan beristighfar. Inilah awal taubatnya.
Ibrahim bin al-Asy’ats berkata, “Aku mendengar al-Fudhail pada suatu malam membaca surat Muhammad sambil menangis dan mengulang-ulang ayat ini,
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ حَتَّى نَعْلَمَ الْمُجَاهِدِينَ مِنكُمْ وَالصَّابِرِينَ وَنَبْلُوَا أَخْبَارِكُمْ
”Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kamu agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara kamu; dan agar Kami menampakkan (baik buruknya) hal ihwalmu.” (QS. Muhammad: 31)
Ia mulai membaca firman-Nya: وَنَبْلُوَا أَخْبَارِكُمْ (Dan Kami menampakkan hal ihwalmu!) Ia terus mengulang-ulang ayat tersebut sembari berkata, ”Kami menampakkan hal ikhwal kami, jika Engkau menampakkan hal ihwal kami (di hadapan manusia) maka Engkau membuka aib kami dan menyibak tirai kami. Jika Engkau menyatakan hal ihwal kami, Engkau membinasakan kami dan mengazab kami.”
Aku mendengarnya berkata (kepada dirinya sendiri), ”Kamu berhias karena manusia, kamu bersandiwara untuk mereka, dan bersiap-siap untuk mereka. Kamu terus berbuat riya’ sehingga mereka mengakuimu sebagai orang shalih. Lantas mereka memenuhi berbagai kebutuhanmu, melonggarkan (melapangkan) untukmu tempat duduk dalam suatu majelis, dan memuliakanmu. Kerugianlah yang kamu peroleh; betapa buruk keadaanmu, jika demikian perihalmu!” Aku mendengarnya berkata, ”Jika kamu mampu agar tidak dikenal, lakukanlah. Tidak mengapa bila kamu tidak dikenal, tidak mengapa bila kamu tidak disanjung, dan tidak mengapa kamu dicela oleh manusia asalkan kamu terpuji di sisi Allah.”
Sumber: Kisahmuslim.com [yang mencatat:] dari buku Air Mata yang Menetes Karena Allah, Kisah Tangisan Para Nabi, Sahabat dan Orang Shalih karya Muhammad Izzat Muhammad Arif’, diterbitkan oleh Pustaka Darul Haq. [alsofwah.or.id]
Taubatnya Barakh al-Abid
Ibn al-Bara menyebutkan di dalam ar-Raudlah: Telah diberitahukan kepada kami oleh al-Fadhl bin Hazim, telah diceritakan kepada saya oleh Yusuf bin ‘Azula, telah diceritakan kepadaku oleh Mukhallad bin Rabi’ah ar-Rab’iy, dari Kaab, ia berkata:
Di zaman Nabi Musa alaihi sallam, kaum Bani Israil mengalami musim kemarau panjang. Mereka meminta kepada Nabi Musa agar memohon kepada Allah minta diturunkan hujan. Musa berkata, “Keluarlah kalian menuju bukit bersamaku.” Ketika mereka telah keluar dan tengah menaiki sebuah bukit, Musa berkata: “Orang yang telah berbuat dosa tidak boleh ikut aku.” Maka lebih dari separuh mereka keluar. Setelah itu mereka berkata lagi, “Tidak boleh seorang pun yang telah melakukan dosa mengikuti aku.” Mereka pun bubar, kecuali seorang laki-laki buta, Bernama Barakh al-Abid. Lalu Musa berkata kepadanya, “Apakah kau tidak mendengar apa yang kukatakan?”
“Ya, aku dengar,” jawab laki-laki itu.
Musa bertanya lagi, “Kau tidak pernah berbuat dosa?” Barakh menjawab, “Aku tidak tahu, kecuali sesuatu yang aku sebutkan ini, jika itu merupakan suatu dosa, maka aku akan kembali.”
“Katakanlah,” desak Musa.
Barakh berkata, “Aku pernah lewat di suatu jalan dan di sebelah jalan ada pintu rumah yang terbuka. Mataku yang sekarang but aini sempat melihat seseorang yang tidak kukenal. Setelah itu kukatakan kepada mataku, “Engkau yang merupakan bagian dari anggota badanku telah lancang berbuat kesalahan. Janganlah kau bersamaku setelah ini! Lalu kutusakkan jari tanganku dan kucabut mataku. Oleh karena itu, jika yang kulakukan itu suatu dosa, maka aku akan kembali.”
Lalu Musa berkata, “Itu bukan suatu dosa. Berdoalah kepada Allah agar diturunkan hujan wahai Barakh,” lanjut Musa. Barakh pun segera berdoa, “Wahai Yang Maha Suci! Wahai Yang Maha Suci! Segala yang ada di sisi-Mu tidak akan pernah sirna, sungguh Engkau Maha Suci dari sifat bakhil, lalu apa yang menyebabkan kami tidak mengetahui kehendak-Mu ini? Turunkanlah kepada kami hujan sekarang juga.” Perawi berkata: Maka keduanya lalu Kembali dalam guyuran hujan yang sangat lebatnya.